by Yudi
Sumber : Islampos
DALAM surah al-Fatihah, surah yang
sangat sering dibaca oleh umat Islam, disebutkan dua jalan yang harus dihindari
oleh setiap muslim, yaitu jalan orang-orang yang dimurkai, dan jalan
orang-orang yang sesat.
Imam Abul Fida’ rahimahullah dalam kitab tafsir beliau, Tafsir
al-Qur’an al-‘Azhim, setelah menjelaskan makna الصراط المستقيم dan صراط الذين
أنعمت عليهم, beliau kemudian menjelaskan makna غير المغضوب عليهم ولا الضالين.
Beliau menjelaskan bahwa orang-orang yang dimurkai (المغضوب عليهم) adalah
orang-orang yang mengetahui al-haq, namun mereka menyimpang darinya. Sedangkan
orang-orang yang tersesat (الضالين) adalah orang-orang yang tak berilmu, mereka
terjebak dalam kesesatan dan tak mendapatkan petunjuk pada kebenaran.
Dua jalan yang kita diwajibkan menghindarinya tersebut adalah jalan yang
ditempuh oleh orang-orang Yahudi dan Nashrani. Orang-orang Yahudi adalah
orang-orang yang memiliki ilmu, namun mereka tidak mengamalkan ilmu tersebut,
sehingga mereka disebut sebagai golongan yang dimurkai. Sedangkan orang-orang
Nashrani adalah orang-orang yang beramal tanpa ilmu, sehingga mereka disebut
sebagai golongan yang tersesat.
Memang benar, baik Yahudi maupun Nashrani adalah golongan yang dimurkai
sekaligus tersesat. Namun, secara khusus orang-orang Yahudi disifati dengan
‘kemurkaan’, sebagaimana firman Allah ta’ala tentang mereka dalam surah
al-Maidah ayat 60, من لعنه الله وغضب عليه. Dan orang-orang Nashrani secara
khusus disifati dengan ‘kesesatan’, sebagaimana firman Allah ta’ala tentang
mereka dalam surah al-Maidah ayat 77, قد ضلوا من قبل وأضلوا كثيرا وضلوا عن سواء
السبيل.
Penisbahan golongan yang dimurkai kepada Yahudi dan golongan yang tersesat
kepada Nashrani ini, juga disampaikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sebagaimana diriwayatkan oleh imam at-Tirmidzi rahimahullah dalam kitab
Sunan beliau (hadits no. 2953, terbitan Mushthafa al-Babi al-Halabi, Mesir,
cetakan ke-2). Beliau rahimahullah berkata tentang hadits tersebut, ‘hadits ini
hasan gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Simak ibn Harb’.
Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk menghindari jalan
orang-orang yang dimurkai-Nya dan jalan orang-orang yang tersesat, sekaligus
memerintahkan kita untuk mengikuti jalan orang-orang yang diberi nikmat
oleh-Nya, yaitu jalan orang-orang yang mendapatkan petunjuk, yang istiqamah,
yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan yang menjalankan
perintah-perintah-Nya, serta menjauhi larangan-larangan-Nya. Dalam surah
al-Fatihah, hal ini diungkapkan dalam bentuk doa kita kepada Allah ta’ala.
Imam Abul Fida’ rahimahullah menegaskan bahwa jalan orang-orang yang
beriman adalah jalan yang memadukan antara ilmu dan amal. Umat Islam wajib
memahami ilmu tentang al-haq, sekaligus mengamalkan ilmu tersebut, tidak
seperti Yahudi dan Nashrani yang mengambil sebagian, dan mengabaikan bagian
yang lain.
Umat Islam tidak boleh beramal tanpa ilmu, karena
itu adalah jalan orang-orang Nashrani yang tersesat. Imam al-Bukhari
rahimahullah, dalam kitab Shahihnya, bahkan menyatakan ilmu itu sebelum
perkataan dan perbuatan, artinya sebelum kita mengatakan atau melakukan
sesuatu, kita wajib mengetahui dulu tuntunan Islam tentang hal tersebut.
Demikian juga, umat Islam wajib beramal sesuai dengan ilmu yang dimilikinya,
tidak seperti orang-orang Yahudi, mereka berilmu, namun amal mereka menyimpang
dari ilmu yang mereka miliki.
Dari sini, bisa kita pahami bahwa umat Islam wajib
menuntut ilmu syar’i, minimal sebatas hal-hal yang wajib dilakukan dan dijauhi
oleh seorang muslim setiap harinya, agar mereka tidak beramal tanpa ilmu.
Setelah itu, mereka juga wajib beramal sesuai dengan ilmunya, sesuai ketetapan
Syariah, dan bukan sekedar menjadi pengumpul ilmu, tanpa mengamalkannya.
Ihdina(a)shshiraathal mustaqiim, shiraathal
ladziina an’amta ‘alaihim, ghairil maghdhuubi ‘alaihim wa la(a)adhdhaalliin.
Aamiin. []

0Komentar